13 Januari 2014

Sebuah Pengantar Bagi Pemimpi | engkau puisiku




Tak tau bagaimana mulanya, tau-tau aku sudah bertatap muka berpandangan mata melirikkan hati dan jatuh cinta dengan wanita di depanku ini dengan syahdunya. Tampak iri beberapa capung di luar sana, bangku sekolah ku lihat seperti layaknya singgasana  Ratu Bilqis yang sebenarnya aku tak tau bagaimana bentuknya. Meja-meja yang tadinya berantakan, kini terlihat seperti meja-meja prasmanan di acara resepsi pernikahan antara Sultan Harun ar Rasyied dengan istri ke-tiganya tentu saja.
Foto bapak presiden beserta wakilnya yang tadinya terlihat dingin dengan sesendok senyum yang nyata dibuat-buat, kini terlihat manis, manis sekali sehingga tampak kawanan semut membentuk barisan di gigi presiden negaraku ini. Lalu jam dinding, daun pintu dan engselnya, lantai kelas, langit-langit pajangan serta kaligrafi kini berubah warna menjadi merah jambu, berbunga-bunga, harum semerbak kesturi, halus, dan indah. Aku terlena sesaat.
            Jika kau duduk di sampingku, kau akan langsung mendengar derap jantung dan nadi-nadiku berkejaran seperti habis berlari mengitari Pulau Nusakambangan dengan kecepatan melebihi aktor lari dunia, Usain Bolt. Ya, engkau bisa mendengarnya lengkap dengan dempuran nafas seperti pertunjukan simfoni orkestra yang belum berhenti bermain sejak dua hari yang lalu.
            Aku benar-benar tak tahu wanita ini memiliki rasa yang sama denganku atau tidak, yang terpenting saat ini aku masih ingin terbang, terlena, terbuai, tergoda, terluntai-luntai merona akan pesona wajah dan wanginya. Ia berkerudung hijau, memakai gaun putih, seperti kebaya. Jika kami sama berdiri maka ia akan sama tingginya dengan bahuku. Berwajah teramat manis, apalagi bila engkau menyuruhnya tersenyum, sebentar lagi bulan dan matahari akan berebut memetiknya.
                                                •••
            Semester satu di kelas satu SMA, awal ramadhan tepat diacara buka bersama di sekolahku. Aku yang berangkat lebih awal dari teman lainnya

Basah sudah rembulan di sore ini. Hampir merunduk ilalang dengan buah padi bercampur. Untungnya aku tak sendiri disini, dilingkupi sejuta rasa bersalah mengapa aku hanya memilih berdiam disini, terpinggir disini, terpojok disini, tak berbaur dengan kawan lainnya yang saling menyibukkan diri.
Seketika kalangkabut tiang bendera itu. Dikebut angin dari samping kanan dan kiri. Sebuah filosofi tentang bagaimana cara kerja hati yang plin-plan, pikiran yang bukan konsisten. Dari atasnya berdiam pula setitik debu, debu kotor, terhina, tertindas, dan teracuhkan. Benar sebuah filosofi tentang bagaimana cara meniti sebuah kesuksesan tak harus dimulai dari sesuatu yang besar, indah, dan maha kaya.
•••

            Aku melempar sebuah batu kecil ke arah kolam di depan kamarku. Ya, aku tinggal di sebuah pondok pesantren sekolah, yang menalangi siswa putra untuk memperdalam ilmu agamanya. Belum genap usianya 1 tahun, belum genap pula 6 bulan, usianya bayi belum bergigi. Didirikan di sebuah lahan kosong dulunya, tepat di bagian paling pojok, paling  sudut, dan terbelakang dari sebuah madrasah aliyah, membuat aku semakin tergerak penasaran mengikuti alur kehidupan pesantren. Juga karena dorongan seseorang wanita surga, lebih tepatnya bidadari surga yang kini ku pastikan ia sedang melamun memikirkan nilai bahasa jawanya yang merosot jauh, sejauh mata memandang.
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar