Tak tau bagaimana
mulanya, tau-tau aku sudah bertatap muka berpandangan mata melirikkan hati dan
jatuh cinta dengan wanita di depanku ini dengan syahdunya. Tampak iri beberapa
capung di luar sana, bangku sekolah ku lihat seperti layaknya singgasana Ratu Bilqis yang sebenarnya aku tak tau
bagaimana bentuknya. Meja-meja yang tadinya berantakan, kini terlihat seperti
meja-meja prasmanan di acara resepsi pernikahan antara Sultan Harun ar Rasyied
dengan istri ke-tiganya tentu saja.
Foto bapak presiden
beserta wakilnya yang tadinya terlihat dingin dengan sesendok senyum yang nyata
dibuat-buat, kini terlihat manis, manis sekali sehingga tampak kawanan semut
membentuk barisan di gigi presiden negaraku ini. Lalu jam dinding, daun pintu
dan engselnya, lantai kelas, langit-langit pajangan serta kaligrafi kini
berubah warna menjadi merah jambu, berbunga-bunga, harum semerbak kesturi,
halus, dan indah. Aku terlena sesaat.
Jika
kau duduk di sampingku, kau akan langsung mendengar derap jantung dan
nadi-nadiku berkejaran seperti habis berlari mengitari Pulau Nusakambangan
dengan kecepatan melebihi aktor lari dunia, Usain Bolt. Ya, engkau bisa
mendengarnya lengkap dengan dempuran nafas seperti pertunjukan simfoni orkestra
yang belum berhenti bermain sejak dua hari yang lalu.
Aku
benar-benar tak tahu wanita ini memiliki rasa yang sama denganku atau tidak,
yang terpenting saat ini aku masih ingin terbang, terlena, terbuai, tergoda,
terluntai-luntai merona akan pesona wajah dan wanginya. Ia berkerudung hijau,
memakai gaun putih, seperti kebaya. Jika kami sama berdiri maka ia akan sama
tingginya dengan bahuku. Berwajah teramat manis, apalagi bila engkau
menyuruhnya tersenyum, sebentar lagi bulan dan matahari akan berebut memetiknya.
•••
Semester
satu di kelas satu SMA, awal ramadhan tepat diacara buka bersama di sekolahku. Aku
yang berangkat lebih awal dari teman lainnya
Basah sudah rembulan di
sore ini. Hampir merunduk ilalang dengan buah padi bercampur. Untungnya aku tak
sendiri disini, dilingkupi sejuta rasa bersalah mengapa aku hanya memilih
berdiam disini, terpinggir disini, terpojok disini, tak berbaur dengan kawan
lainnya yang saling menyibukkan diri.
Seketika kalangkabut
tiang bendera itu. Dikebut angin dari samping kanan dan kiri. Sebuah filosofi
tentang bagaimana cara kerja hati yang plin-plan, pikiran yang bukan konsisten.
Dari atasnya berdiam pula setitik debu, debu kotor, terhina, tertindas, dan
teracuhkan. Benar sebuah filosofi tentang bagaimana cara meniti sebuah kesuksesan
tak harus dimulai dari sesuatu yang besar, indah, dan maha kaya.
•••
Aku melempar
sebuah batu kecil ke arah kolam di depan kamarku. Ya, aku tinggal di sebuah
pondok pesantren sekolah, yang menalangi siswa putra untuk memperdalam ilmu
agamanya. Belum genap usianya 1 tahun, belum genap pula 6 bulan, usianya bayi
belum bergigi. Didirikan di sebuah lahan kosong dulunya, tepat di bagian paling
pojok, paling sudut, dan terbelakang
dari sebuah madrasah aliyah, membuat aku semakin tergerak penasaran mengikuti alur
kehidupan pesantren. Juga karena dorongan seseorang wanita surga, lebih
tepatnya bidadari surga yang kini ku pastikan ia sedang melamun memikirkan
nilai bahasa jawanya yang merosot jauh, sejauh mata memandang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar