13 Januari 2014

Hanya Ambisi Di Kepala | engkau puisiku

memang jika dicermati, lamat-lamat suara hujan yang berbentur genteng dan seng akan membaur hilang,
selintas aku berhenti, lalu berhutang tanya di kepala..
mau sampai kapan aku diam disini? sementara yang lain mulai membuka buku, membaca sekenanya, berharap hasil puas di akhir ujian nanti. sedangkan aku?

yaa beginilah nasib orang yang hanya berambisi kuat di kepala, ia hanya punya rencana dan prospek bagus dan cemerlang yang amat bergairah, tapi amat kaku, diam, dingin, dan layu ketika praktek...
nasib...

Elegi Bercerita | engkau puisiku

bercerita adalah cermin. 
Semua yang terpantul disana, akan menjadi pembanding apa yang kamu lakukan sekarang.
Namun cukup hanya Tuhan yang tau pasti, apa yang ada dibalik sebuah cermin itu.

Seperti juga saat kita bercerita menengok ke belakang. Dia terlihat terbuka, namun lebih banyak kata yang membuat kita ikut menerka makna yang tersembunyi di baliknya. Di balik keterbukaan itu ada suatu yg terlihat misterius, sulit ditebak dan menghadirkan persepsi yang berbeda-beda. ya itu cerita kita waktu teman-teman kita serius, dan amat ambisius dengan apa yang akan kita ceritakan. maka saat itulah, cerita kita didengar.

dan saya pesan, selesaikan cerita kita masing-masing hari ini. tulis kalau perlu.
tulis apa yang akan kamu ceritakan mnjadi sebuah cerita indah, memang tak secepatnya berguna, tapi suatu nanti akan berguna.
 

Sebuah Pengantar Bagi Pemimpi | engkau puisiku




Tak tau bagaimana mulanya, tau-tau aku sudah bertatap muka berpandangan mata melirikkan hati dan jatuh cinta dengan wanita di depanku ini dengan syahdunya. Tampak iri beberapa capung di luar sana, bangku sekolah ku lihat seperti layaknya singgasana  Ratu Bilqis yang sebenarnya aku tak tau bagaimana bentuknya. Meja-meja yang tadinya berantakan, kini terlihat seperti meja-meja prasmanan di acara resepsi pernikahan antara Sultan Harun ar Rasyied dengan istri ke-tiganya tentu saja.
Foto bapak presiden beserta wakilnya yang tadinya terlihat dingin dengan sesendok senyum yang nyata dibuat-buat, kini terlihat manis, manis sekali sehingga tampak kawanan semut membentuk barisan di gigi presiden negaraku ini. Lalu jam dinding, daun pintu dan engselnya, lantai kelas, langit-langit pajangan serta kaligrafi kini berubah warna menjadi merah jambu, berbunga-bunga, harum semerbak kesturi, halus, dan indah. Aku terlena sesaat.
            Jika kau duduk di sampingku, kau akan langsung mendengar derap jantung dan nadi-nadiku berkejaran seperti habis berlari mengitari Pulau Nusakambangan dengan kecepatan melebihi aktor lari dunia, Usain Bolt. Ya, engkau bisa mendengarnya lengkap dengan dempuran nafas seperti pertunjukan simfoni orkestra yang belum berhenti bermain sejak dua hari yang lalu.
            Aku benar-benar tak tahu wanita ini memiliki rasa yang sama denganku atau tidak, yang terpenting saat ini aku masih ingin terbang, terlena, terbuai, tergoda, terluntai-luntai merona akan pesona wajah dan wanginya. Ia berkerudung hijau, memakai gaun putih, seperti kebaya. Jika kami sama berdiri maka ia akan sama tingginya dengan bahuku. Berwajah teramat manis, apalagi bila engkau menyuruhnya tersenyum, sebentar lagi bulan dan matahari akan berebut memetiknya.
                                                •••
            Semester satu di kelas satu SMA, awal ramadhan tepat diacara buka bersama di sekolahku. Aku yang berangkat lebih awal dari teman lainnya

Basah sudah rembulan di sore ini. Hampir merunduk ilalang dengan buah padi bercampur. Untungnya aku tak sendiri disini, dilingkupi sejuta rasa bersalah mengapa aku hanya memilih berdiam disini, terpinggir disini, terpojok disini, tak berbaur dengan kawan lainnya yang saling menyibukkan diri.
Seketika kalangkabut tiang bendera itu. Dikebut angin dari samping kanan dan kiri. Sebuah filosofi tentang bagaimana cara kerja hati yang plin-plan, pikiran yang bukan konsisten. Dari atasnya berdiam pula setitik debu, debu kotor, terhina, tertindas, dan teracuhkan. Benar sebuah filosofi tentang bagaimana cara meniti sebuah kesuksesan tak harus dimulai dari sesuatu yang besar, indah, dan maha kaya.
•••

            Aku melempar sebuah batu kecil ke arah kolam di depan kamarku. Ya, aku tinggal di sebuah pondok pesantren sekolah, yang menalangi siswa putra untuk memperdalam ilmu agamanya. Belum genap usianya 1 tahun, belum genap pula 6 bulan, usianya bayi belum bergigi. Didirikan di sebuah lahan kosong dulunya, tepat di bagian paling pojok, paling  sudut, dan terbelakang dari sebuah madrasah aliyah, membuat aku semakin tergerak penasaran mengikuti alur kehidupan pesantren. Juga karena dorongan seseorang wanita surga, lebih tepatnya bidadari surga yang kini ku pastikan ia sedang melamun memikirkan nilai bahasa jawanya yang merosot jauh, sejauh mata memandang.
           

9 Oktober 2013

Kumpulan Puisi Legendaris Chairil Anwar bagian 1 | Engkau Puisiku

malam semakin larut itu bukan menjadi alasan untuk kita berhenti berkarya,
berikut adalah karya-karya legendaris om Chairil Anwar yang coba saya hidupkan kembali...

Nisan
untuk nenekanda

bukan kematian benar menusuk kalbu
keridlaanmu menerima segala tiba
tak ku tahu setinggi itu di atas debu
dan duka maha Tuhan bertahta  (oktober 1942)

Penghidupan

lautan maha dalam
memukul dentur selama
menguji pematang kita
hingga hancur remuk redam
kurnia bahagia
kecil setumpuk
sia-sia dilindung, sia-sia dipupuk  (desember 1942


Mari

Kita kosongkan daerah ini
menurut rancangan yang dari dulu
sudah tertentu

dan satu-satu
isi tempat paling termaju

sebelum bertolak
kita gunduli pohon-pohon yang melambai
kita cukuri perempuan yang berambut melambai

rindu jangan meretak

tepi hari
buat Baharudin

seorang orang lenggang
bertanya kembali

pada s.p.
pergilah
pergi mati

apa, apa lagi ? semua jalan sudah ditempuh
ada lagi cemasmu menempati pos yang paling terasing ?

semua menurut maunya berlaku, yang dekat dan yang jauh

H,
aku berada di kamar sendiri. Terasa sendiri dengan buku-buku lagi ketika sebelum kawin dengan kau



tunggu karya-karya beliau yang lain ya...next time insyaAlloh

8 Oktober 2013

renungan tentang kerinduan | Engkau Puisiku

Lakukanlah hal-hal di bawah ini ketika kamu benar-benar merasakan kerinduan terdalam terhadap siapapun, apapun.
ibumu, ayahmu, adikmu, kakakmu, kekasihmu atau siapapun.....
keluarkan semua deru air matamu, kawan...

Ambilah Wudhu
Dirikan dua raka'at shalat mutlak
Tadahkan tanganmu dalam doamu
lalu pejamkan matamu dan katakanlah

YA اللّÙ‡ُ
Hamba sangat merindukannya
merindukan kehadirannya
Dia
yang akan menjadi Imam /makmum hamba
Dia
yang akan menjadi pelepas duka dan lara
Dia
yang akan menjadi teman hingga saat terakhir
hamba
Dia
yang hatinya di slimuti Ta'at dan taqwa
YA اللّÙ‡ُ
Pertemukanlah kami di sebuah majlis
pernikahan tanpa Harus pacaran dan
berdua-duaan
YA اللّÙ‡ُ
pertemukanlah kami hanya karnaMU
DI ATAS RIDHOMU
آمِÙŠّÙ†ْ ÙŠَا رَ بَّ العَـــالَÙ…ِÙŠْÙ†
DO'AKU MALAM INI

Ya Allah..
Kirimkanlah dia untukku..
Dia yang menenangkan hatiku..
Dia yang selalu menjaga keimananku..
Dia yang selalu mengingatkan solat kepadaku..
Dia yang selalu mengajariku bagaimana aku harus bersabar..
Dia yang membuatku menangis karena takut kepada-Mu..
Dia yang Menjaga Agama-Mu..
Dia yang selalu berdoa untuk keluarganya..
Dia yang selalu taat kepada ayah ibunya.,..
Dia yang tak pernah meninggalkan sholat..
Dia yang selalu berbicara sopan..
Dia yang selalu bijaksana..

Jika dia adalah pilihan-Mu,
Datang atas ridho-Mu,
Yang akan mampu mendekatkan cintaku pada-Mu,
Maka, satukan hatinya dan hatiku.
Dalam janji ikatan suci,
Bersama ijab dihadapan wali dan saksi..

Cerpen Sang Pujangga karya anak MA Negeri Purbalingga | Engkau Puisiku



ini nih, buat temen-temen, agan-agan, om-om, tante-tante, adek-adek, semuanya, ini saya postingkan karya cerpen saya yang saya beri judul "SANG PUJANGGA", yang Alhamdulillah berhasil mendapat predikat sebagai......jreenngg....( biasa aja kali mas -_-' )  cerpen terbaik versi guru saya sesekolahan, heheee...

ayok, langsung simak ajah,, 


 “SANG PUJANGGA”
Karya : Muhammad Wildan Sidqi P. / XII IPASATU/ MA Negeri Purbalingga

Terik matahari begitu menyengat di bumi negeri Saudi, burung-burung saling berterbangan, hinggap dan terhimpit di antara dahan-dahan pohon di sepanjang jalan itu.
Sebut saja ia Abdullah bin Rawahah, seorang pujangga muda yang setiap harinya selalu bersyair, menciptakan satu, dua, tiga, hingga belasan puisi setiap minggunya. Tak lupa ketika akhir bulan, ia mengirimkan beberapa karya terbaik dan terindahnya ke penerbit koran-koran lokal di kotanya. Ia adalah seorang yatim piatu yang ditinggal mati ayah dan bundanya 3 tahun silam. Sungguh merupakan duka yang amat mendalam bagi dirinya.
Abdullah juga seorang penjual roti di petang harinya sebagai mata pencaharian sehari-hari untuk menghidupi dirinya sendiri. Ia biasa menjajakan dagangannya di sekitar alun-alun kota, sembari menanti pelanggan yang datang, ia selalu bersyair di atas pelepah kurma.
Ia berharap puisi yang telah ia terbitkan di koran menjadi perhatian utama bagi pembaca, menginterpretasi karya-karyanya, dan siapa sangka ada penerbit buku yang tertarik untuk membukukan kecemerlangan karyanya itu.
Usai ba’da shalat maghrib, ia bergegas menyiapkan perlengkapan dagangnya, tak lupa sebuah pensil dan pelepah kurma sebagai medianya bersyair, ia menaruh semuanya di dalam tas gendong yang diikat di jok belakang sepeda onthel pemberian ayahnya itu. Sesampainya di tempat ia berjualan ia mulai menata semua yang telah ia bawa lalu menyiapkan minyak panas di penggorengan.

“ Mas, roti isi kacang dan susunya satu ya ?” celetuk seorang ibu yang merupakan salah seorang pelanggan Abdullah,
“ Ya, Bu..tunggu sebentar ya? ”, jawab Abdullah, sembari menuangkan minyak goreng di kuali.
Setelah pelanggan pertamanya di malam itu selesai ia tangani, tiba-tiba terdengar suara riuh rendah, seperti ada sekelompok orang berjalan mendekati para pedagang kaki lima di sekitar alun-alun itu, ternyata sekelompok orang itu adalah polisi pamong praja, dan sepertinya akan ada penertiban lokasi mendadak.
“ Ahh...celaka aku malam ini “, Abdullah berujar di dalam hati.
Ia lantas dengan cepat membereskan barang dagangan yang baru beberapa saat ia tata, tak peduli jika hanya baru satu pelanggan yang datang membeli. Namun, belum sempat ia membereskan barang dagangannya, beberapa polisi penertib itu dengan paksa mengambil dan mengangkut beberapa peralatan barang dagangan Abdullah untuk disita. Tak terima barang-barangnya disita, Abdullah mencoba memaksa merebut kembali barang-barangnya tadi dari tangan polisi, larut bersama teriakan, tangisan, dan rengekan pedagang lainnya dengan perilaku polisi penertib itu.
“ Pak, tolonglah, jangan sita barang dagangan saya, benar-benar ini menjadi mata pencaharian saya satu-satunya...” Abdullah mencoba meyakinkan seorang polisi penertib tersebut.
“ Tidak!, Anda dan teman-teman Anda lainnya kan telah diberitahu tentang penertiban kali ini, maaf saja jika kali ini Anda masih berani berjualan di sini, maka kami tak segan, tak pandang bulu menyita semuanya, termasuk barang dagangan kamu ini. Mengerti ?! “ ujar polisi penertib itu tak tahu dosa. Polisi itu berdusta, padahal tak ada satupun ia mendengar tentang informasi bahwa akan ada penertiban malam ini.
Abdullah memberontak sekenanya, merebut sekuatnya, tapi apa daya tenaganya tak  mencukupi untuk melawan selusin lebih polisi petugas berbadan tegap itu. Ia sadar, bukan seperti inilah perilaku muslim, perilaku hamba Allah yang beriman.
Ia tak kuasa menahan tangis, ia menarik diri dari hiruk pikuknya penertiban itu, ia ikhlas dan berserah diri pada Allah. Berjalan gontai ke arah masjid di barat alun-alun kota.

“ Ibu, ayah, lihatlah anakmu ini, mau makan apa besok ? “ ujar Abdullah yang duduk lemas di serambi masjid, ia menangis sejadinya, terngiang akan mendiang ayah dan ibunya, khawatir mereka berdua akan ikut menangis meniti penderitaan anaknya.
Setelah ia menenangkan diri dengan mengikuti shalat isya berjama’ah, ia mengambil pelepah kurma dan sebuah pensil yang ia selipkan di dalam bajunya. Merajut dan merangkai sebuah puisi duka hatinya.
Latnankan !
Embun itu jatuh di perapian
Tak sanggup aku bangkit berdiri
Wahai engkau Sang Pengayom jahannam !

Tak berbelas kian kasih
Benar engkau iblis-iblis nyata
Tak pernah mau tau jelatanya aku
Lihat aku sebatang kara
Hidup terbayang-bayang jasad ayah bunda

Oh, Engkau Sang Maha Tuan...
Musnahkan mereka yang menggigit kepedihan
Lenyapkan dari bumi-Mu
Mereka-mereka sang ahli neraka

Sebuah puisi yang mampu mengobati luka-luka akibat kehilangan barang dagang yang otomatis ia tak akan bisa berjualan roti lagi seperti sediakala. Sebuah puisi yang syarat emosional, menentang, beringas, cekat, menyekat, menyesakkan rongga dada, dan tentu saja menyinggung ke otoriteran pemerintah yang sama sekali tak mendukung rakyat jelatanya, hanya sekedar bualan ketika kampanye untuk berpihak kepada rakyat kecil.
Terselubung rasa kecewa yang ia wakilkan lewat baris-baris syairnya itu, ia kayuh sepeda onthelnya dengan berat hati itu menuju rumah. Dengan segala niat untuk kembali ke penerbit koran lokal langganannya untuk mempublikasikan sebuah karya emosionalnya semalam itu kepada khalayak esok hari.
Usai menunaikan shalat shubuh berjama’ah, seperti biasa ia terlebih dulu membersihkan pelataran rumah, mencuci pakaian, lalu mandi. Abdullah tak sarapan, karena memang sama sekali tak ada yang dapat ia makan pagi itu.
Dengan salinan syairnya semalam yang telah ia pindah ke kertas, ia berjalan keluar, mengambil sepeda onthel kesayangannya, mengayuhnya dengan ikhlas berbesar hati, melupakan kejadian semalam,  menuju kantor penerbit koran lokal langganannya itu yang tak terlalu jauh.
Abdullah pergi dengan segala harapan ingin membahagiakan kedua orang tuanya yang lebih dulu berada di surga. Sama sekali tak ingin membuat cemas dan khawatir di alam sana.
Tak terasa, ia menitikkan tetes-tetes air mata, jatuh berlinangan di sekitar pelupuk hingga pipinya. Makin jauh ia mengayuh, makin deras pula butiran air mata itu menyapa. Ia usap sekenanya, “ ahh, aku tak boleh menangis...”

Sesampainya di kantor penerbit koran lokal langganannya itu, Abdullah menyerahkan kertas salinan karya puisinya itu, dan sekitar jam 7 pagi nanti, puisinya itu sudah bisa dibaca orang satu negaranya.
Abdullah kembali pulang, terikat dengan janjinya dengan anak tetangganya,  Umair, yang minta dibuatkan sebuah puisi perjuangan kepadanya.
Tepat pukul 11 pagi, terdengar ada ketukan dari luar pintu rumahnya. Pertanda ada tamu yang datang. Lantas Abdullah berjalan untuk membukakan pintu untuk tamunya. Tak pernah ia sangka sebelumnya, empat anggota polisi dengan atribut lengkap, berbadan tegap, menenteng pistol maupun senapan angin, salah satunya berkumis tebal, dan terlihat lebih besar badannya daripada yang lain.

“ Assalamua’alaikum, selamat siang. Apa betul ini rumah saudara Abdullah bin Rawahah ?”, ujar polisi yang paling gemuk badannya itu.

“ Ya, benar. Ini saya sendiri, Abdullah bin Rawahah. Maksud kedatangan bapak-bapak polisi kesini ini apa ya ?”, celetuk Abdullah agak gemetaran, karena baru kali ini ia berdiri berada dihadapan polisi.
“ Dengan segala hormat, dan atas keputusan dari atasan kami, Anda kami tangkap. Karena Anda telah melanggar UU No.13 Tentang Pencemaran Nama Baik Pemerintah. “, kata seorang polisi yang menenteng AK-47.
Sama sekali tak ada perlawanan dari Abdullah, karena ia sadar, memberontak bukanlah sikap seorang muslim. Dengan kepala merunduk, tetapi dengan hati yang besar,  ia diangkut ke dalam mobil patroli. Abdullah muali bersyair di dalam hati.
 Setelah ia berada di antara kerangka besi, pengap, kotor, kumuh, sunyi, sangat kontras sekali antara bau pesing dengan bau besi yang karat. Ironisnya, masih sekitar 8 bulan lagi ia baru bisa bebas dari bui jahannam ini.
“ Pak, boleh saya minta izin mengambil air wudhu sebentar ?”, pinta Abdullah kepada petugas penjaga untuk mengambil air wudhu, Pak Hisyam, untuk menunaikan ibadah shalat dhuhur.
“ Oh, ya. Tentu saja. Mari kita shalat berjama’ah saja “, jawab petugas penjaga tersebut menimbali permintaan Abdullah. Merekapun akhirnya melaksanakan shalat berjama’ah di mushalla lapas tersebut.
Di atas sajadah lusuh, Abdullah menyungkur, tunduk dan sujud. Tak lepas keningnya, bermuhasabah, interupsi, dan mengasingkan diri. Lebih banyak berikhtiar, merayu, menyanjungkan, dan mengagungkan Allah. Berharap hari-harinya di lapas ini menjadi berkah dan pelajaran untuknya, bahwa tak selamanya kasus penahanan selalu berkiblat pada kriminalitas.
Ia tak pernah berhenti berkarya di dalam jeruji besi. Tak pernah tertinggal satu kata pun ia tulis dan rajut menjadi rangkaian sajak-sajak surga. Benar-benar ia berjiwa besar, kadang deras air mata mengalir ketika bayang ayah bundanya terngiang. Kadang seuntai senyum menepis dukanya kala tiap pagi ia bersama narapidana lainnya bersenam-ria, menari poco-poco di halaman lapas.
Kadang kala saat malam semakin larut, Pak Hisyam, petugas penjaga yang sangat baik dan ramah kepada Abdullah, sering kali sengaja menyambangi sel Abdullah. Ia menjadi sahabat terbaik Abdullah selama menetap di lapas itu. Sering kali Pak Hisyam menjadi tempat Abdullah mengevaluasi diri, menangis bersama, tertawa pun bersama kala Pak Hisyam iseng membacakan satu persatu karya puisi Abdullah.
“ Dik, Abdullah. Bisakah engkau buatkan aku sebait puisi ? untuk anak semata wayangku“, ujar Pak Hisyam di sela-sela perbincangannya.
“ Ya, tentu saudaraku. Jangankan sebait, sepanjang jalan Makkah-Madinah pun akan aku buatkan, haha..” ujar Abdullah menimpali. Ya begitulah, mereka menjadi sangat akrab. Akrab sekali.
§§§
Hampir genap 240 hari ia berada di genggaman jeruji besi di salah satu lembaga permasyarakatan terkemuka. Hanya tinggal sekitar 3 hari lagi, ia akan menghirup udara bebas. Hampir menyentuh 129 karya puisi yang ia tulis selama berada di tahanan. Ia telah memiliki rencana akan mempublikasikan semuanya ke penerbit koran langganannya.
Yap, ahad pagi yang cerah, langit pagi itu sungguh biru, awan pun saling berebut tersenyum mengantar kebebasan Abdullah. Ia menyalami semua teman-teman narapidananya, termasuk sahabat karibnya, Pak Hisyam. Tangis pun pecah, suasana benar-benar mengharukan. Karena Abdullah termasuk narapidana yang dikenal baik, ramah, dan humoris.
Abdullah melangkah keluar lapas dengan sejuta pengalaman yang tak pernah ia lupakan, deras air mata yang mengalir ia usap dengan lengan bajunya, teman-teman se-lapas yang begitu menjadikannya merasa seperti manusia ter-puitis di dunia. Tiba-tiba,  Pak Hisyam berlari, menuju barisan terdepan polisi-polisi lapas dengan membawa secarik kertas lalu membaca isinya,

Wahai, Abdillah saudaraku
Meniti langit aku hampir terjatuh
Menghias malam dengan bait syairmu
Tahukah jika bulan pun merindu ?

Aku tak berharap engkau kembali
Aku tak berharap engkau pun pergi
Tapi kembali bersyairlah,
Anakku menunggu bukumu...


“ lihatlah saudaraku, aku telah bersyair, aku bisa bersyair, saudaraku...!”, tukas  Pak Hisyam selesainya ia bersyair.
Selesai mendengar sahabatnya bersyair, Abdullah tak mampu lagi menahan deras air matanya, ia kembali dan memeluk sahabat terbaiknya, Pak Hisyam. Semua yang ada di situ pun merasakan yang sama, semua menangis, di sana-sini hanya isak yang terdengar.
“ Engkau merubah segalanya menjadi lebih indah, Saudaraku !” kata Sersan Abdul Malik, seraya mengusap air matanya.
Abdullah pun kembali melangkah keluar gerbang lapas, memberikan sebuah lambaian diikuti sebuah salam, “ Assalamu’alaikum, Saudaraku !”

§
Sesampainya ia di rumah, yang telah ia tinggalkan selama 8 bulan itu, ia kembali bersyair sambil membersihkan semua isi rumahnya. Jam menunjukkan pukul 9 pagi, setelah semua bersih, ia langsung bergegas menyetorkan hasil karya-karyanya yang ia ciptakan selama ia berada di lapas.

Adzan ashar pun saling bersahutan meramaikan akhir sore itu, sangat menenangkan jiwa, Abdullah langsung bergegas ke masjid yang tak jauh dari rumahnya.
Rampung itu, ketika ia sedang menikmati secangkir teh hangat, tiba-tiba terdengar ketukan dari luar. Ia bangkit untuk menyambut tamunya,
“ Assalamu’alaikum, ya Abdullah ?”, kata tamu itu dari luar.
“ Wa’alaikumsalam warrahmatullah..”, balas Abdullah menimpali, seraya membuka pintu dan menyuruh sang tamu duduk.
“ Ada yang bisa saya bantu ?”, ujar Abdullah bertanya-tanya.
“ Benarkah Anda dengan saudara Abdullah Ibnu Rawahah? Saya Umair Ibnu Noer, Kepala Staff Penerbit Buku Khasanah. Saya benar-benar tertarik untuk membukukan karya puisi-puisi Anda yang setiap hari Anda posting di Koran an-News, benar-benar sebuah mahakarya, sangat emosional. Saya yakin engkau akan menjadi salah satu penyair terbesar abad ini.”

Ya, mulai saat itulah, semua karya-karya yang pernah ia ciptakan ia kumpulkan. Begitu senang dan takjub, perasaan yang semula gundah kini sirna menjadi berpuluh-pulah kali lipat kegembiraan hatinya. Abdullah berubah menjadi seorang penulis dan penyair terbesar yang pernah dikenal.
“ Ahh..ayah, bunda...anakmu ini telah tercapai citanya...” kata Abdullah diakhir kalimat di halaman terakhir buku pertamanya.


-SELESAI-