ini nih, buat temen-temen, agan-agan, om-om, tante-tante, adek-adek, semuanya, ini saya postingkan karya cerpen saya yang saya beri judul "SANG PUJANGGA", yang Alhamdulillah berhasil mendapat predikat sebagai......jreenngg....( biasa aja kali mas -_-' ) cerpen terbaik versi guru saya sesekolahan, heheee...
ayok, langsung simak ajah,,
“SANG PUJANGGA”
Karya
: Muhammad Wildan Sidqi P. / XII IPASATU/ MA Negeri Purbalingga
Terik
matahari begitu menyengat di bumi negeri Saudi, burung-burung saling
berterbangan, hinggap dan terhimpit di antara dahan-dahan pohon di sepanjang
jalan itu.
Sebut
saja ia Abdullah bin Rawahah, seorang pujangga muda yang setiap harinya selalu
bersyair, menciptakan satu, dua, tiga, hingga belasan puisi setiap minggunya.
Tak lupa ketika akhir bulan, ia mengirimkan beberapa karya terbaik dan terindahnya
ke penerbit koran-koran lokal di kotanya. Ia adalah seorang yatim piatu yang ditinggal
mati ayah dan bundanya 3 tahun silam. Sungguh merupakan duka yang amat mendalam
bagi dirinya.
Abdullah
juga seorang penjual roti di petang harinya sebagai mata pencaharian
sehari-hari untuk menghidupi dirinya sendiri. Ia biasa menjajakan dagangannya
di sekitar alun-alun kota, sembari menanti pelanggan yang datang, ia selalu
bersyair di atas pelepah kurma.
Ia
berharap puisi yang telah ia terbitkan di koran menjadi perhatian utama bagi
pembaca, menginterpretasi karya-karyanya, dan siapa sangka ada penerbit buku
yang tertarik untuk membukukan kecemerlangan karyanya itu.
Usai
ba’da shalat maghrib, ia bergegas menyiapkan perlengkapan dagangnya, tak lupa
sebuah pensil dan pelepah kurma sebagai medianya bersyair, ia menaruh semuanya
di dalam tas gendong yang diikat di jok belakang sepeda onthel pemberian
ayahnya itu. Sesampainya di tempat ia berjualan ia mulai menata semua yang
telah ia bawa lalu menyiapkan minyak panas di penggorengan.
“ Mas, roti isi kacang dan susunya
satu ya ?” celetuk seorang ibu yang merupakan salah seorang pelanggan Abdullah,
“ Ya, Bu..tunggu sebentar ya? ”,
jawab Abdullah, sembari menuangkan minyak goreng di kuali.
Setelah pelanggan pertamanya di malam
itu selesai ia tangani, tiba-tiba terdengar suara riuh rendah, seperti ada
sekelompok orang berjalan mendekati para pedagang kaki lima di sekitar
alun-alun itu, ternyata sekelompok orang itu adalah polisi pamong praja, dan
sepertinya akan ada penertiban lokasi mendadak.
“ Ahh...celaka aku malam ini “,
Abdullah berujar di dalam hati.
Ia lantas dengan cepat membereskan
barang dagangan yang baru beberapa saat ia tata, tak peduli jika hanya baru
satu pelanggan yang datang membeli. Namun, belum sempat ia membereskan barang
dagangannya, beberapa polisi penertib itu dengan paksa mengambil dan mengangkut
beberapa peralatan barang dagangan Abdullah untuk disita. Tak terima
barang-barangnya disita, Abdullah mencoba memaksa merebut kembali
barang-barangnya tadi dari tangan polisi, larut bersama teriakan, tangisan, dan
rengekan pedagang lainnya dengan perilaku polisi penertib itu.
“ Pak, tolonglah, jangan sita barang
dagangan saya, benar-benar ini menjadi mata pencaharian saya satu-satunya...”
Abdullah mencoba meyakinkan seorang polisi penertib tersebut.
“ Tidak!, Anda dan teman-teman Anda
lainnya kan telah diberitahu tentang penertiban kali ini, maaf saja jika kali
ini Anda masih berani berjualan di sini, maka kami tak segan, tak pandang bulu
menyita semuanya, termasuk barang dagangan kamu ini. Mengerti ?! “ ujar polisi
penertib itu tak tahu dosa. Polisi itu berdusta, padahal tak ada satupun ia
mendengar tentang informasi bahwa akan ada penertiban malam ini.
Abdullah
memberontak sekenanya, merebut sekuatnya, tapi apa daya tenaganya tak mencukupi untuk melawan selusin lebih polisi
petugas berbadan tegap itu. Ia sadar, bukan seperti inilah perilaku muslim,
perilaku hamba Allah yang beriman.
Ia
tak kuasa menahan tangis, ia menarik diri dari hiruk pikuknya penertiban itu,
ia ikhlas dan berserah diri pada Allah. Berjalan gontai ke arah masjid di barat
alun-alun kota.
“
Ibu, ayah, lihatlah anakmu ini, mau makan apa besok ? “ ujar Abdullah yang
duduk lemas di serambi masjid, ia menangis sejadinya, terngiang akan mendiang
ayah dan ibunya, khawatir mereka berdua akan ikut menangis meniti penderitaan
anaknya.
Setelah ia menenangkan diri dengan
mengikuti shalat isya berjama’ah, ia mengambil pelepah kurma dan sebuah pensil
yang ia selipkan di dalam bajunya. Merajut dan merangkai sebuah puisi duka
hatinya.
Latnankan !
Embun
itu jatuh di perapian
Tak
sanggup aku bangkit berdiri
Wahai
engkau Sang Pengayom jahannam !
Tak
berbelas kian kasih
Benar
engkau iblis-iblis nyata
Tak
pernah mau tau jelatanya aku
Lihat
aku sebatang kara
Hidup
terbayang-bayang jasad ayah bunda
Oh,
Engkau Sang Maha Tuan...
Musnahkan
mereka yang menggigit kepedihan
Lenyapkan
dari bumi-Mu
Mereka-mereka
sang ahli neraka
Sebuah
puisi yang mampu mengobati luka-luka akibat kehilangan barang dagang yang
otomatis ia tak akan bisa berjualan roti lagi seperti sediakala. Sebuah puisi
yang syarat emosional, menentang, beringas, cekat, menyekat, menyesakkan rongga
dada, dan tentu saja menyinggung ke otoriteran pemerintah yang sama sekali tak
mendukung rakyat jelatanya, hanya sekedar bualan ketika kampanye untuk berpihak
kepada rakyat kecil.
Terselubung
rasa kecewa yang ia wakilkan lewat baris-baris syairnya itu, ia kayuh sepeda
onthelnya dengan berat hati itu menuju rumah. Dengan segala niat untuk kembali
ke penerbit koran lokal langganannya untuk mempublikasikan sebuah karya
emosionalnya semalam itu kepada khalayak esok hari.
Usai
menunaikan shalat shubuh berjama’ah, seperti biasa ia terlebih dulu
membersihkan pelataran rumah, mencuci pakaian, lalu mandi. Abdullah tak
sarapan, karena memang sama sekali tak ada yang dapat ia makan pagi itu.
Dengan
salinan syairnya semalam yang telah ia pindah ke kertas, ia berjalan keluar,
mengambil sepeda onthel kesayangannya, mengayuhnya dengan ikhlas berbesar hati,
melupakan kejadian semalam, menuju
kantor penerbit koran lokal langganannya itu yang tak terlalu jauh.
Abdullah
pergi dengan segala harapan ingin membahagiakan kedua orang tuanya yang lebih
dulu berada di surga. Sama sekali tak ingin membuat cemas dan khawatir di alam
sana.
Tak
terasa, ia menitikkan tetes-tetes air mata, jatuh berlinangan di sekitar pelupuk
hingga pipinya. Makin jauh ia mengayuh, makin deras pula butiran air mata itu
menyapa. Ia usap sekenanya, “ ahh, aku tak boleh menangis...”
Sesampainya
di kantor penerbit koran lokal langganannya itu, Abdullah menyerahkan kertas
salinan karya puisinya itu, dan sekitar jam 7 pagi nanti, puisinya itu sudah
bisa dibaca orang satu negaranya.
Abdullah
kembali pulang, terikat dengan janjinya dengan anak tetangganya, Umair, yang minta dibuatkan sebuah puisi perjuangan
kepadanya.
Tepat
pukul 11 pagi, terdengar ada ketukan dari luar pintu rumahnya. Pertanda ada
tamu yang datang. Lantas Abdullah berjalan untuk membukakan pintu untuk tamunya.
Tak pernah ia sangka sebelumnya, empat anggota polisi dengan atribut lengkap,
berbadan tegap, menenteng pistol maupun senapan angin, salah satunya berkumis
tebal, dan terlihat lebih besar badannya daripada yang lain.
“
Assalamua’alaikum, selamat siang. Apa betul ini rumah saudara Abdullah bin
Rawahah ?”, ujar polisi yang paling gemuk badannya itu.
“ Ya, benar. Ini saya sendiri,
Abdullah bin Rawahah. Maksud kedatangan bapak-bapak polisi kesini ini apa ya
?”, celetuk Abdullah agak gemetaran, karena baru kali ini ia berdiri berada
dihadapan polisi.
“ Dengan segala hormat, dan atas
keputusan dari atasan kami, Anda kami tangkap. Karena Anda telah melanggar UU
No.13 Tentang Pencemaran Nama Baik Pemerintah. “, kata seorang polisi yang
menenteng AK-47.
Sama
sekali tak ada perlawanan dari Abdullah, karena ia sadar, memberontak bukanlah
sikap seorang muslim. Dengan kepala merunduk, tetapi dengan hati yang besar, ia diangkut ke dalam mobil patroli. Abdullah muali
bersyair di dalam hati.
Setelah ia berada di antara kerangka besi,
pengap, kotor, kumuh, sunyi, sangat kontras sekali antara bau pesing dengan bau
besi yang karat. Ironisnya, masih sekitar 8 bulan lagi ia baru bisa bebas dari
bui jahannam ini.
“ Pak, boleh saya minta izin
mengambil air wudhu sebentar ?”, pinta Abdullah kepada petugas penjaga untuk
mengambil air wudhu, Pak Hisyam, untuk menunaikan ibadah shalat dhuhur.
“
Oh, ya. Tentu saja. Mari kita shalat berjama’ah saja “, jawab petugas penjaga
tersebut menimbali permintaan Abdullah. Merekapun akhirnya melaksanakan shalat
berjama’ah di mushalla lapas tersebut.
Di
atas sajadah lusuh, Abdullah menyungkur, tunduk dan sujud. Tak lepas keningnya,
bermuhasabah, interupsi, dan mengasingkan diri. Lebih banyak berikhtiar, merayu,
menyanjungkan, dan mengagungkan Allah. Berharap hari-harinya di lapas ini
menjadi berkah dan pelajaran untuknya, bahwa tak selamanya kasus penahanan
selalu berkiblat pada kriminalitas.
Ia tak pernah berhenti berkarya di
dalam jeruji besi. Tak pernah tertinggal satu kata pun ia tulis dan rajut
menjadi rangkaian sajak-sajak surga. Benar-benar ia berjiwa besar, kadang deras
air mata mengalir ketika bayang ayah bundanya terngiang. Kadang seuntai senyum
menepis dukanya kala tiap pagi ia bersama narapidana lainnya bersenam-ria,
menari poco-poco di halaman lapas.
Kadang kala saat malam semakin larut,
Pak Hisyam, petugas penjaga yang sangat baik dan ramah kepada Abdullah, sering
kali sengaja menyambangi sel Abdullah. Ia menjadi sahabat terbaik Abdullah
selama menetap di lapas itu. Sering kali Pak Hisyam menjadi tempat Abdullah
mengevaluasi diri, menangis bersama, tertawa pun bersama kala Pak Hisyam iseng
membacakan satu persatu karya puisi Abdullah.
“ Dik, Abdullah. Bisakah engkau
buatkan aku sebait puisi ? untuk anak semata wayangku“, ujar Pak Hisyam di
sela-sela perbincangannya.
“ Ya, tentu saudaraku. Jangankan
sebait, sepanjang jalan Makkah-Madinah pun akan aku buatkan, haha..” ujar
Abdullah menimpali. Ya begitulah, mereka menjadi sangat akrab. Akrab sekali.
§§§
Hampir genap 240 hari ia berada di
genggaman jeruji besi di salah satu lembaga permasyarakatan terkemuka. Hanya
tinggal sekitar 3 hari lagi, ia akan menghirup udara bebas. Hampir menyentuh
129 karya puisi yang ia tulis selama berada di tahanan. Ia telah memiliki
rencana akan mempublikasikan semuanya ke penerbit koran langganannya.
Yap,
ahad pagi yang cerah, langit pagi itu sungguh biru, awan pun saling berebut
tersenyum mengantar kebebasan Abdullah. Ia menyalami semua teman-teman
narapidananya, termasuk sahabat karibnya, Pak Hisyam. Tangis pun pecah, suasana
benar-benar mengharukan. Karena Abdullah termasuk narapidana yang dikenal baik,
ramah, dan humoris.
Abdullah
melangkah keluar lapas dengan sejuta pengalaman yang tak pernah ia lupakan,
deras air mata yang mengalir ia usap dengan lengan bajunya, teman-teman
se-lapas yang begitu menjadikannya merasa seperti manusia ter-puitis di dunia.
Tiba-tiba, Pak Hisyam berlari, menuju
barisan terdepan polisi-polisi lapas dengan membawa secarik kertas lalu membaca
isinya,
Wahai,
Abdillah saudaraku
Meniti
langit aku hampir terjatuh
Menghias
malam dengan bait syairmu
Tahukah
jika bulan pun merindu ?
Aku
tak berharap engkau kembali
Aku
tak berharap engkau pun pergi
Tapi
kembali bersyairlah,
Anakku
menunggu bukumu...
“
lihatlah saudaraku, aku telah bersyair, aku bisa bersyair, saudaraku...!”,
tukas Pak Hisyam selesainya ia bersyair.
Selesai
mendengar sahabatnya bersyair, Abdullah tak mampu lagi menahan deras air
matanya, ia kembali dan memeluk sahabat terbaiknya, Pak Hisyam. Semua yang ada
di situ pun merasakan yang sama, semua menangis, di sana-sini hanya isak yang
terdengar.
“
Engkau merubah segalanya menjadi lebih indah, Saudaraku !” kata Sersan Abdul
Malik, seraya mengusap air matanya.
Abdullah
pun kembali melangkah keluar gerbang lapas, memberikan sebuah lambaian diikuti
sebuah salam, “ Assalamu’alaikum, Saudaraku !”
§
Sesampainya
ia di rumah, yang telah ia tinggalkan selama 8 bulan itu, ia kembali bersyair sambil
membersihkan semua isi rumahnya. Jam menunjukkan pukul 9 pagi, setelah semua
bersih, ia langsung bergegas menyetorkan hasil karya-karyanya yang ia ciptakan
selama ia berada di lapas.
Adzan
ashar pun saling bersahutan meramaikan akhir sore itu, sangat menenangkan jiwa,
Abdullah langsung bergegas ke masjid yang tak jauh dari rumahnya.
Rampung
itu, ketika ia sedang menikmati secangkir teh hangat, tiba-tiba terdengar
ketukan dari luar. Ia bangkit untuk menyambut tamunya,
“
Assalamu’alaikum, ya Abdullah ?”, kata tamu itu dari luar.
“
Wa’alaikumsalam warrahmatullah..”, balas Abdullah menimpali, seraya membuka
pintu dan menyuruh sang tamu duduk.
“
Ada yang bisa saya bantu ?”, ujar Abdullah bertanya-tanya.
“
Benarkah Anda dengan saudara Abdullah Ibnu Rawahah? Saya Umair Ibnu Noer,
Kepala Staff Penerbit Buku Khasanah. Saya benar-benar tertarik untuk membukukan
karya puisi-puisi Anda yang setiap hari Anda posting di Koran an-News,
benar-benar sebuah mahakarya, sangat emosional. Saya yakin engkau akan menjadi
salah satu penyair terbesar abad ini.”
Ya,
mulai saat itulah, semua karya-karya yang pernah ia ciptakan ia kumpulkan.
Begitu senang dan takjub, perasaan yang semula gundah kini sirna menjadi
berpuluh-pulah kali lipat kegembiraan hatinya. Abdullah berubah menjadi seorang
penulis dan penyair terbesar yang pernah dikenal.
“
Ahh..ayah, bunda...anakmu ini telah tercapai citanya...” kata Abdullah diakhir
kalimat di halaman terakhir buku pertamanya.
-SELESAI-